Sejak awal tahun 2021, tak sedikit instansi penyelenggara pelayanan publik melaksanakan pencanangan pembangunan zona integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM). Pencanangan pembangunan zona integritas tersebut, merupakan bukti bahwa suatu instansi telah siap membangun zona integritas di lingkungannya. Tak hanya komitmen pada level pimpinan instansi saja, komitmen pembangunan zona integritas juga harus datang dari seluruh pegawai yang berada di instansi pelayanan publik, tak terkecuali petugas keamanan, maupun pramubakti. Mengingat dalam pencanangan pembangunan zona integritas tersebut, seluruh pegawai pada instansi yang mencanangkan harus menandatangani dokumen pakta integritas sebagai bukti komitmen pelaksanaan pembangunan zona integritas di instansinya, sebagaimana ketentuan Permenpan-RB No. 10 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Permenpan-RB No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di Lingkungan Instansi Pemerintah.

Sebagai bentuk komitmen perubahan untuk menciptakan zona integritas, tak hanya pegawai yang melakukan penandatanganan pakta integritas. Proses pencanangan pembangunan zona integritas juga harus dilaksanakan secara terbuka dan dipublikasikan secara luas. Hal ini bertujuan agar semua pihak, baik aparat penegak hukum, pengawas pelayanan publik, tak terkecuali masyarakat luas, dapat memantau, mengawal, dan mengawasi, bahkan berperan aktif dalam mewujudkan reformasi birokrasi pada instansi pelayanan publik, khususnya  pada tujuan pencegahan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan publik.

Lantas apa yang dapat dilakukan instansi yang telah melakukan pencanangan pembangunan zona integritas, agar pencangan tersebut tak hanya sekedar "formalitas" belaka, dan pembangunan zona integritas menjadi nyata adanya. Tentu instansi harus mempersiapkan banyak hal, seperti menyiapkan komponen yang harus segera dibangun untuk menunjang proses percepatan reformasi birokrasi tersebut. Misalnya menyiapkan program yang harus segera dilaksanakan yang masuk dalam kategori perbaikan, seperti manajemen perubahan, manajemen SDM, penguatan pengawasan, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan komponen perbaikan lainnya, sebagai komponen pengungkit untuk mendapatkan hasil berupa pemerintah yang bersih dan bebas KKN.

Jika dilihat berdasarkan urutan letak komponen perbaikan untuk melaksanakan pembangunan zona integritas, aspek manajemen perubahan diletakkan pada urutan pertama. Menurut Penulis, hal ini dapat diartikan bahwa untuk mencapai keberhasilan pembangunan zona integritas pada komponen lain, manajemen perubahanlah pintu masuk melakukan reformasi birokrasi. Bagaimana tidak, pada komponen pengungkit manajemen perubahan, terdapat tugas yang cukup berat dan mendasar, yakni mengubah secara sistematis dan konsisten setidaknya 3 hal penting, yakni mekanisme kerja, pola pikir (mind set), dan budaya kerja (culture set).

Perubahan mekanisme kerja dalam suatu proses pelayanan publik tentu menjadi hal yang penting. Bagaimana tidak, mekanisme kerja yang terstruktur dan terukur pasti secara tidak langsung akan berdampak pada kualitas produk pelayanan publik. Begitu juga sebaliknya, mekanisme kerja yang 'serampangan' akan berkontribusi besar pada buruknya hasil pelayanan publik yang diselenggarakan. Mekanisme kerja sendiri berasal dari internal penyelenggara, namun berdampak secara eksternal ke masyarakat pengguna layanan. Oleh sebab itu dibutuhkan perubahan dalam mekanisme kerja dalam suatu instansi yang telah melakukan pencanangan pembangunan zona integritas. Mekanisme kerja juga tak terlepas dari penerapan standar operasional prosedur , karena dapat membuat mekanisme kerja akan berjalan sesuai alur yang telah disusun , tak heran jika penerapan standar operasional prosedur menjadi salah satu bagian pengungkit dalam kategori penataan tatalaksana, untuk menuju berhasilnya pembangunan zona integritas.

Setelah terbentuk mekanisme kerja yang efektif, maka untuk menjalankan mekanisme tersebut tentu dibutuhkan pola pikir dari masing-masing penyelenggara pelayanan publik. Pola pikir yang harusnya menjadi landasan adalah bahwa hakikat penyelenggara pelayanan publik adalah bagian dari abdi negara. Jika dilihat bersadarkan UU No. 25 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, salah satu tugas pegawai adalah untuk memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas. Sehingga untuk menjalankan tugas tersebut, pegawai harus memegang teguh pola pikir sebagai pelayan, yang mengutamakan kepuasan masyarakat sebagai pengakses pelayanan publik (tentunya dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku). Karena jika masyarakat puas, maka hal tersebut menunjukkan kualitas hasil pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam jangka panjang hal ini akan berdampak pada meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap layanan publik yang diselenggarakan oleh negara/pemerintah.

Hal yang tak kalah penting setelah mekanisme kerja dan pola pikir adalah budaya kerja. Semangat perubahan yang telah dirangkai dari mekanisme kerja, pola pikir, harus dilengkapi dengan budaya kerja. Sehingga ketiga hal tersebut menjadi suatu kebiasaan baik yang dapat terus dijalankan guna mendukung terciptanya reformasi birokrasi. Dalam mewujudkan budaya kerja tersebut, pimpinan penyelenggara layanan menjadi bagian yang sangat penting, baik untuk memberikan pengaruh, ataupun dalam rangka berperan aktif sebagai role model pelaksanaan pembangunan zona integritas menuju WBK/WBBM. Jika pimpinan berhasil menumbuhkan budaya kerja yang baik, dalam hal ini bekerja profesional, terstruktur, efektif, terukur, dan berorientasi pada hasil yang baik dalam pelayanan publik, maka harapannya seluruh pegawai yang ada pada instansi yang dipimpinnya, akan ikut berkontribusi aktif dan secara nyata mengaplikasikan budaya kerja dimaksud. Sehingga budaya kerja lama (misalnya budaya yang penting masuk kantor, tak berorientasi pada target dan hasil pelayanan yang berkualitas), yang acapkali masih dipraktekkan dalam instansi pelayanan publik, lambat laun akan hilang. Kemudian tak lagi berdampak buruk bagi keberlangsungan pelaksanaan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat. Selain pimpinan, peran menginternalisasi budaya kerja yang baik sehingga menjadi kebiasaan tersebut, juga dapat dilakukan oleh agen perubahan di tiap instansi penyelenggara pelayanan publik masing-masing. Sehingga diharapkan proses perubahan  internalisasi budaya kerja yang efektif dapat berjalan dengan cepat dan tepat. 

Dengan terwujudnya manajemen kerja, berubahnya pola pikir dan terinternalisasinya budaya kerja yang baik, diharapkan bagian manajemen perubahan sebagai pengungkit terbangunnya zona integritas menuju WBK/WBBM, akan mempercepat proses reformasi birokrasi sebagaimana yang diharapkan Pesiden dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Mengingat pemerintah menargetkan visi reformasi birokrasi di tahun 2025, Terwujud Pemerintahan Kelas Dunia, dengan wujud pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi, mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat, dan mewujudkan manajemen pemerintahan yang demokratis, sehingga mampu mendororong terealisasinya tata pemerintahan yang baik tahun 2025.